Ode untuk Papi dan Mami

Posted: 04+08:0033 10,2011 in caring (catatan garing)
Tag:, ,

Papi dan Mami, berbahagialah. Tidak banyak suami yang berangkat dengan istri saat berpulang kepada Sang Kekasih, pencipta kita semua. 

Tak semua istri bisa tegar, menemukan kesabaran setelah didera penyakit. Di saat merintih kesakitan, Mami beberapa kali menanyakan Papi, pun saat masih ada. Mami seolah sadar, tugas utamanya adalah melayani suami.

Kami anak-anakmu tahu, cinta Papi kepada Mami tak akan pernah lekang meski tanah merah menghalang. Cinta itu terlalu besar, terlampau dalam untuk diuruk tanah segunduk. Cinta, yang sekian lama telah kalian tunjukkan, telah membuat kami sadar, bahwa papi dan mami tak bisa dipisahkan. 

Pi, posisi Mami terlalu tinggi di relung hati. Mami selalu mencarimu, mencari buah hatinya. Meski Papi jarang menyatakan dengan kata-kata, perasaan apalagi yang dia punya untukmu bila namanya bukan cinta? Cintalah yang membuat Mami rela, bahkan ridha dengan kepergian Papi untuk bertemu Penciptanya.

Papi dan Mami, terbiasa lurus dalam berkata-kata. Dalam kalimatnya yang sederhana, ada sabar dan kesadaran akan terbatasnya sikap dan kata-kata untuk mengungkap besarnya cinta. Menyerahkan kepada kasih sayang dan rahmat Allah, itulah setinggi-tingginya ungkapan cinta Papi kepada Mami.  

Mungkin kami mereka-reka, kalian berdua sudah menyadari bahwa cinta sejatinya adalah memberi, bukan mengambil. Menyerahkan, bukan merampas. Kesadaran itu yang membuatmu rela memberikan hidup buat dirinya, anak-anak, dan keluarga. Mami rela mendampingi Papi saat pindah ke sebuah kampung di ujung kota Bandung. Hidup dalam kesederhanaan dan jauh dari keramaian.  

 

Cinta kalian menjadi teladan buat kami. Saat anak-anakmu sakit, kalian tak segan untuk duduk semalaman di samping ranjang kami. Kami kangen dengan lantunan suara Papi yang mengaji. Kami kangen dengan mata cinta Mami yang mau mendengarkan keluh kesan, dan sedu sedan kami. 

 

Cinta itulah menjadi penanda saat tepat 40 hari Papi dipanggil sang Khalik. Tepat ketika matahari tengah terik di kekuasaanya, Mami pun ikut menyusul. Tubuh Mami yang rapuh ditelan penyakit yang ganas terkulai, tersungkur. Tangannya melambai, suaranya lirih tersendat karena darah. Allahu Akbar. Hanya kalimat terakhir itulah yang keluar dari mulut Mami.  Seolah ia menyerahkan dirinya kepada kasih sayang dan rahmat Allah.  Dan itulah setinggi-tingginya ungkapan cinta Mami kepada Papi.

 

Graha Pejaten, 17 Oktober

Tiga hari setelah ibunda tercinta meninggal

Tinggalkan komentar